Saat itu seorang pencari ilmu yang mengikut madzhab Maliki bertanya kepada Ibnu Hazm Ad Dhahiri, sorang ulama madzhab Ad Dzahiriyah (madzhab yang merujuk kepada makna leterlijk nash) mengenai hukum shalat di belakang Imam yang berbeda madzhab. Ibnu Hazm sendiri dikenali sebagai ulama yang amat pedas komentarnya terhadap siapa yang berebeda pendapat dengannya. Bahkan ia tidak segan-segan ia menilai mereka sebagai pihak yang menyelisihi hadits. Sehingga ada ulama yang menyebut bahwa lidah Ibnu Hazm dan pedang Hajaj, penguasa dzalim yang suka membunuh adalah saudara kandung (Wafayat Al A’yan, 3/327-328). Dengan kondisi tersebut, si penanya mungkin mengira bahwa Ibnu Hazm akan menjawab dengan jawaban-jawaban yang tidak “simpatik” pula. Namun ternyata perkiraan itu meleset jauh. Sebaliknya, Ibnu Hazm menjawab dengan penuh obyektifitas.
Dalam Risalah fi Al Imamah, Ibnu Hazm menjawab pertanyaan pencari ilmu itu,”Jika engkau menyatakan bahwa si imam membolehkan wudhu dengan nabidz (perasan anggur baik yang sudah menjadi arak maupun belum), walau kami tidak mengataknnya, karena haditsnya tidak shahih dari Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam, namun kita memperoleh riwayat (yang membolehkan) dari Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu Anhu, Ikrimah, Al Auzai, Al Hasan bin Hayyi, Humaid bin Abdirrahman dan para fuqaha lainnya. Jika engau menolak shalat di belakang mereka, maka engkau adalah orang yang paling alim!” (lihat, Risalah fi Al Imamah, hal. 124)
Jika Imam itu termasuk orang yang hanya berpendapat wajibnya mandi junub terbatas karena keluar air mani, walau pendapat itu tidak disetujui oleh Ibnu Hazm, karena adanya hadits yang menjelaskan bahwa jima’ mewajibkan mandi walau tidak keliar mani, namun menurutnya ada beberapa ulama yang tidak ada tandingnnya hingga hari kiamat yang membolehkannya. Mereka adalah Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, Thalhah, Zubair, Said bin Abi Waqash dan beberapa fuqaha dari kalangan sahabat lainnya. Jika si penanya menolak shalat di belakang para ulama besar itu maka ia akan tahu akibatnya di akhirat kelak! (Risalah fi Al Imamah, hal. 125)
Ibnu Hazm sendiri termasuk ulama yang menyatakan bahwa meninggalkan basmalah untuk Al Fatihah tidak membatalkan shalat. Namun jika Imam yang dijadikan panutan adalah orang yang membaca basmalah untuk Al Fatihah dengan menghitungnya sebagai ayat, serta menilai batalnya shalat jika meninggalknya, maka hal itu tidak mengapa. Beliau menyatakan,”Dan telah diriwayatkan hal itu dari mayoritas sahabat termasuk Abu Bakr dan Umar. Jika engkau menolak shalat di belakang mereka maka jiwamu telah dzalim dan jelaslah kebodohanmu!” (Risalah fi Al Imamah, hal. 128)
Ibnu Hazm juga menyatakan, jika yang menjadi imam adalah orang yang menilai bolehnya akad salam satu dirham dengan dua dirham, walau hal ini menurut Ibnu Hazm adalah haram, namun bermakmum kepada mereka tetap dibolehkan. Ibnu Hazm menyatakan,”Akan tetapi telah berpendapat kebolehannya para ulama yang tidak ada tandingannya setelah mereka yakni Ibnu Abbas beserta para fuqaha Makkah dan sekelompok ulama setelah mereka. Dan aku telah mengatakan kepadamu bahwa tidak ada seorang pun yang terbebas dari kesalahan setelah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam. Beliau adalah hujjah terhadap siapa saja. Namun jika engkau menolak shalat di belakang Ibnu Abbas, maka celakalah engkau!” (Risalah fi Al Imamah, hal. 130)
Hanafiyah Ikut Qunut jika Bermakmum kepada Syafi’iyah
Tidak hanya Ibnu Hazm yang membahas masalah bermakmum kepada Imam yang berbeda madzhab. Madzab 4 juga sudah membahasa bagaimana seharusnya kaetika penganutnya bermakmun kepada imam di madzhab lainnya. Salah satu contohnya, Al Marghinani salah satu ulama besar madzhab Hanafi memilih mengambil pendapat Imam Abu Yusuf yang berpendapat untuk mengikuti Imam jika ia berqunut di shalat shubuh. Padahal Madzhab Hanafi sendiri tidak berqunut di waktu itu. Kemudian beliau menyatakan,”Hal ini menunjukkan bolehnya mengikuti imam yang bermadzhab As Syafi’i” (Fath Al Qadir Syarh Al Hidayah, 1/ 310)
Kisah serupa terjadi tatkala Harun Ar Rasyid saat menjadi Imam setelah beliau berbekam tanpa berwudhu sesuai dengan pendapat Malik, namun Imam Abu Yusuf murid Abu Hanifah tetap bermakmum kepada beliau walau berbeda pandangan. (Al Inshaf, hal. 24-25)
Hal yang sama dilakukan oleh Imam Ahmad yang berpendapat batalnya wudhu dengan mimisan dan berbekam. Suatu saat ada yang mengatakan kepada beliau,”Jika ada Imam telah keluar darah darinya, dan tidak berwudhu, apakah engkau shalat di belakangnya?” Imam Ahmad menjawab,”Bagaimana bisa saya tidak shalat di belakang Imam Malik dan Said bin Musayyab?” (Al Inshaf, hal. 24-25)
Imam Ahmad sendiri pernah memilih mengeraskan basmallah ketika shalat di Madinah walau tidak sependapat. Qadhi Abu Ya’la menilai bahwa hal itu disebabkan penduduk Madinah membacanya jahr. Dan beliau memilih sikap itu dalam rangka mempererat ukhuwwah. (Al Inshaf, 24-25)
Nah, kalau ulama besar bertoleransi terhadap madzhab lainnya, tentu umat Islam yang bukan ulama perlu mengambil suri tauladan dari mereka. Sehingga hubungan antar umat Islam yang berpeda pendapat dalam masalah fiqih harmonis dan tidak terjadi permusuhan karena hal itu.
Sumber : Hidayatullah
0 comments:
Post a Comment