Nu’man bin Tsabit bin Zuta bin Mahan at-Taymi (bahasa Arab: النعمان بن ثابت), lebih dikenal dengan nama Abū Ḥanīfah, (bahasa Arab: بو حنيفة) (lahir di Kufah, Irak pada 80 H / 699 M — meninggal di Baghdad, Irak, 148 H / 767 M) merupakan pendiri dari Madzhab Islam Hanafi.
Abu Hanifah juga merupakan seorang Tabi'in, generasi setelah Sahabat nabi, karena dia pernah bertemu dengan salah seorang sahabat bernama Anas bin Malik, dan meriwayatkan hadis darinya serta sahabat lainnya.
Imam Hanafi disebutkan sebagai tokoh yang pertama kali menyusun kitab fiqh berdasarkan kelompok-kelompok yang berawal dari kesucian (taharah), salat dan seterusnya, yang kemudian diikuti oleh ulama-ulama sesudahnya seperti Malik bin Anas, Imam Syafi'i, Abu Dawud, Bukhari, Muslim dan lainnya.
Kemahirannya dalam berbagai disiplin ilmu agama itu ia pelajari dari sejumlah ulama besar masa itu. Diantaranya ada Atha’ bin Abi Rabbah, Asy-Sya’bi, Adi bin Tsabit, Abdurrahman bin Hurmuj Al-A’raj, Amru bin Dinar, dan Thalhah bin Nafi’.
Ia juga belajar kepada ulama lainnya seperti Nafi’ Maula Ibnu Umar, Qotadah bin Di’amah, Qois bin Muslim, Abdullah bin Dinar, Hamad bin Abi Sulaiman (guru fikihnya), Abu Ja’far Al-Baqir, Ibnu Syihab Az-Zuhri, dan Muhammad bin Munkandar.
Sepanjang 70 tahun masa hidupnya, Imam Hanafi tidak melahirkan secara langsung karya dalam bentuk kitab. Ide, pandangan, dan fatwa-fatwanya seputar kehidupan keagamaan ditulis dan disebarluaskan oleh murid-muridnya. Karya-karya fikih yang dinisbatkan kepadanya adalah Al-Musnad dan Al-Kharaj.
Salah satu muridnya yang terkenal adalah Muhammad bin Al-Hassan Al-Shaibani, guru Imam Syafi'i. Melalui goresan tangan para muridnya itu, pandangan-pandangan Imam Hanafi menyebar luas di negeri-negeri Islam, bahkan menjadi salah satu mazhab yang diakui oleh mayoritas umat Islam.
Beberapa muridnya yang lain adalah Ibrahin bin Thahman seorang alim dari Khurasan, Abyadh bin Al-Aghar bin Ash-Shabah, Ishaq Al-Azroq, Asar bin Amru Al-Bajali, Ismail bin Yahya Al-Sirafi, Al-Harits bin Nahban, Al-Hasan bin Ziyad, dan Hafsh bin Abdurrahman Al-Qadhi. Hamzah—teman penjual minyak wangi—juga pernah berguru kepadanya, di samping nama-mana lain, seperti Dawud Ath-Thai, Sulaiman bin Amr An-Nakhai, Su’aib bin Ishaq, Abdullah ibnul Mubarok, Abdul Aziz bin Khalid at-Turmudzi, Abdul karim bin Muhammad al-Jurjani, dan Abdullah bin Zubair al-Qurasy.
Bercucuran air mata
Dalam berbagai literatur disebutkan, Imam Hanafi adalah seorang hamba Allah yang bertakwa dan saleh. Seluruh waktunya lebih banyak diisi dengan amal ibadah. Jika tengah berdoa, matanya bercucuran air mata demi mengharapkan keridhaan Allah SWT.
Dia seorang yang kokoh dan kuat jiwanya, selalu mendekatkan diri kepada Allah dengan jalan beribadah dan berakhlak karimah. Di saat hamba Allah yang lain terlelap dalam nikmatnya tidur malam, sang Imam ber-taqarrub kepada sang Khalik melalui shalat lail dan bacaan-bacaan Alquran.
Keluhuran budi pekerti Imam Hanafi tidak serta merta membawanya dicintai oleh orang-orang di sekelilingnya. Ada saja orang yang berniat jahat kepadanya dan berusaha menganiayanya.
Menghadapi semua itu, Imam Hanafi tak pernah gentar. Ia berani menegakkan dan mempertahankan kebenaran. Imam Hanafi selalu berusaha mencegah orang-orang yang melakukan perbuatan munkar. Upaya itu bukan tanpa alasan. Ia berpandangan, kalau kemunkaran tidak dicegah, semua orang akan merasakan akibatnya. Tidak hanya orang yang berbuat kejahatan, tapi orang-orang baik yang ada di tempat itu.
Sikap ini sejalan dengan hadits Rasulullah SAW, “Bumi ini diumpamakan sebuah bahtera yang didiami oleh dua kelompok orang. Kelompok pertama terdiri atas orang-orang yang baik, dan kelompok kedua terdiri atas orang-orang yang jahat. Kalau kelompok orang jahat ini mau merusak bahtera dan kelompok orang-orang baik tidak mencegahnya, maka seluruh penghuni bahtera akan binasa. Sebaliknya, jika kelompok yang baik mau mencegah, maka semuanya akan selamat.”
Keteguhan sikap dan keberanian mencegah yang munkar benar-benar ia praktikkan. Imam Hanafi berkali-kali menolak tawaran untuk menduduki jabatan penting dalam pemerintahan. Komitmen yang demikian itu ia pegang teguh hingga menutup mata pada tahun 150 Hijriah, di usia 70 tahun.
Metodologi Fiqh Abu Hanifah
Dasar-dasar Abu Hanifah dalam Menetapkan suatu hukum fiqh bisa dilihat dari urutan berikut:
1. Al-Qur'an
2. Sunnah, dimana beliau selalu mengambil sunnah yang mutawatir/masyhur. Beliau mengambil sunnah yang diriwayatkan secara ahad hanya bila rawi darinya tsiqah.
3. Pendapat para Sahabat Nabi (Atsar)
4. Qiyas
5. Istihsan
6. Ijma' para ulama
7. Urf masyarakat muslim
Hubungan dengan Mazhab yang Lain
Kehadiran mazhab-mazhab ini mungkin tidak bisa dilihat sebagai perbedaan mutlak seperti dalam agama Kristen (Protestan dan Katolik) dan beberapa agama lain. Sebaliknya ini merupakan perbedaan melalui pendapat logika dan ide dalam memahami Islam. Perkara pokok seperti akidah atau tauhid masih sama dan tidak berubah.
Sebelumnya : Biografi 4 Imam Madzhab Ahlus Sunnah Waljamaah (Sunni) : Imam Syafei (1)
Selanjutnya : Biografi 4 Imam Madzhab Ahlus Sunnah Waljamaah (Sunni) : Imam Ahmad (Ahmad Bin Hanbal) (3)
Referensi :
1. Republika
2. Id.wikipedia.org
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment